Dari kejauhan, lampu lalu-lintas di
perempatan itu masih menyala hijau. Herman segera menekan pedal gas
kendaraannya. Ia tak mau terlambat. Apalagi ia tahu perempatan di situ cukup
padat sehingga lampu merah biasanya menyala cukup lama.

Herman bimbang, haruskah ia berhenti
atau terus saja. “Ah, aku tak punya kesempatan untuk menginjak rem mendadak,”
pikirnya sambil terus melaju.
Priiiiiiiiit!
Di seberang jalan seorang polisi
melambaikan tangan memintanya berhenti. Herman menepikan kendaraan agak menjauh
sambil mengumpat dalam hati. Dari kaca spion ia melihat siapa polisi itu.
Wajahnya tak terlalu asing.
Hey, itu kan Dedi, teman mainnya
semasa SMA dulu. Hatinya agak lega. Ia melompat keluar sambil membuka kedua
lengannya.
“Hai, Ded. Senang sekali ketemu kamu
lagi!”
“Hai, Her.” Jawabnya ringkas tanpa
senyum.
“Waduh, sepertinya saya kena tilang
nih? Sorry ded, saya lagi buru-buru, soalnya Istri saya sedang menunggu di
rumah.”
“Oh ya?” tampaknya polisi itu agak
ragu.
“Ded, hari ini istriku ulang tahun.
Ia dan anak-anak sudah menyiapkan segala sesuatunya. Tentu aku tidak boleh
terlambat, dong.”
“Saya mengerti. Tapi, sebenarnya
kami sering memperhatikanmu melintasi lampu merah di persimpangan ini.”
“Jadi, kamu mau menilangku nih
ceritanya? Tapi bener deh, aku tadi tidak sengaja melewati lampu merah. Sewaktu
aku lewat lampu kuning masih menyala.” Terkadang berdusta sedikit kan nggak
apa-apa, pikirnya.
“Nggak usah begitu kawan, saya
melihatnya dengan jelas. Tolong keluarkan SIM kamu.”
Dengan gusar Herman menyerahkan SIM
lalu masuk ke dalam kendaraan dan menutup kaca jendelanya.
Sementara polisi itu menulis sesuatu
di buku tilangnya. Beberapa saat kemudian Dedi mengetuk kaca jendela. Herman
memandangi wajah Dedi dengan penuh kekecewaan. Dibukanya kaca jendela itu
sedikit. Ah, lima centi sudah cukup untuk memasukkan surat tilang. Tanpa
berkata-kata Dedi kembali ke posnya.
Herman mengambil surat tilang yang
diselipkan Dedi di sela-sela kaca jendela. Tapi, hei apa ini. Ternyata SIM nya
dikembalikan utuh bersama sebuah nota. Kenapa ia tidak menilangku, pikirnya.
Lalu nota ini apa? Semacam guyonan atau apa? Buru-buru Herman membuka dan
membaca nota yang berisi tulisan tangan kawan lamanya itu.
To : Herman
Tahukah kamu Her, aku dulu mempunyai
seorang anak perempuan. Saat aku tengah berbahagia dengan kelucuannya,
Tiba-tiba Allah memanggilnya. Ia meninggal tertabrak pengemudi yang ngebut
menerobos lampu merah.
Kamu tahu Her? Pengemudi itu dihukum
penjara selama 3 bulan. Begitu bebas ia bisa bertemu dan memeluk ketiga anaknya
lagi. Sedangkan anak kami satu-satunya sudah tiada.
Kami berdua berusaha untuk
melupakannya, dan masih menyimpan sedikit harapan agar Allah berkenan
mengkaruniai seorang anak yang bisa kami peluk.
Tetapi ribuan kali kami mencoba
memaafkan pengemudi itu. Ribuan kali juga hati kami teriris mengingatnya.
Betapa sulitnya Sobat, Begitu juga kali ini. Maafkan aku kawan. Doakan agar
permohonan kami dikabulkan di usia kami yang semakin senja. Berhati-hatilah.
Dari temanmu
Dedi.
Herman terhenyak. Ia segera keluar dari
kendaraan mencari temannya. Namun, Dedi sudah meninggalkan pos jaganya entah
kemana. Sepanjang jalan pulang ia mengemudi perlahan dengan hati sungguh tak
menentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Diharapkan untuk memberi komentar yang sesuai dengan tema postingan dan dilarang untuk menggunakan kata-kata kasar...